Tuesday, October 16, 2012

Digoda yang tunggu “pengkolan” jalan..


Peristiwa ini terjadi di tahun 87 an ketika saya sedang KKN di desa  suren kutoarjo Purworejo Jawa Tengah. Tahun- tahun segitu, Desa Suren belum dimasuki listrik. Jadi wajar kalau lepas maghrib, suasana desa jadi sunyi. Satu-satunya penerangan berasal dari lampu minyak atau petromak. Jadi bisa dibayangkan betapa serunya KKN kami disitu.

Waktu itu pertemuan dengan warga desa baru saja berakhir. Kira-kira sudah memasuki pukul 22.00. Langit begitu gelap, mendung. Aku yang seharusnya ditemani ellia, mau tidak mau harus jalan sendiri. Karena temanku itu tadi sore pamit pulang ke Jogjakarta.  Melihat kegamanganku, pak lurah memintaku untuk tidur saja dirumahnya bergabung dengan teman-teman lain yang bertempat tinggal disitu. Namun, mengingat sore tadi belum sempat pamit dengan bapak dan ibu induk, aku menolaknya secara halus. Konsekuensinya ya harus berani menyusuri jalan desa yang panjangnya hampir dua kiloan sendirian.

Gerimis kecil-kecil sudah berubah menjadi hujan yang lumayan lebat. Pelan-pelan sepeda pancal kepunyaan pak carik, kukayuh. Lampunya yang suram membelah gelapnya malam. Suasana jalan desa itu sudah sangat sunyi, satu dua lampu minyak yang ada didepan rumah penduduk padam oleh derasnya hujan dan juga angin yang bertiup agak kencang. Berkali-kali aku arus turun dan menuntun sepeda bila jalan yang kulalui penuh dengan batu-batu dan lubang. Berkali-kali juga aku “kejeglong” kubangan kerbau yang penuh dengan air. Satu bulak panjang sudah berhasil aku lewati. Dekat dukuh IV pas perempatan pasar, hujan mulai reda dan terang. Malah bulan tanggal 14 mulai muncul remang-remang. Hatiku mulai tenang, karena tinggal satu bulak panjang lagi aku sudah sampai di kost-kostan. Dekat rumahnya pak jagabaya, perjalananku mulai tidak tenang, aku merasa perjalananku selalu diikuti anjing. Berkali-kali kutengok, dan benar ada seekor anjing yang cukup besar, bulunya hitam matanya berkilat-kilat menakutkan. Tapi anehnya, anjing itu cukup jinak. Seingatku di dusun itu tidak ada yang memelihara anjing, dan aku hafal persis karena sudah lebih dari satu bulan ini aku diberi tugas mengajar nulis halus untuk siswa-siswa SD yang akan dikirim untuk lomba porseni di kabupaten. Lama-lama anjing tadi mulai membayangi sepedaku, bahkan tak jarang berlari ke kiri dan ke kanan memotong laju sepedaku. Tentu saja hal ini membuatku bingung. Takut menabrak. Itu berlangsung cukup lama. Karena merasa terganggu, akupun berhenti dan mencoba mencari batu untuk kulempar kearah anjing itu supaya pergi dan tidak menggangguku. Namun begitu sepeda kujagang, anjing tersebut tidak ada, entah pergi kemana. Kucari kearah kiri dan kanan juga tidak ada, terus kemana bersembunyi kemana ya anjing tadi, pikirku. Perasaanku mulai tidak enak, bulu kudukku pelan-pelan meremang. Mau kembali ke rumah pak lurah sudah lumayan jauh, mau menuju rumah kost juga masih harus melewati bulak ini.

Akhirnya, dengan membaca Basmallah pelan-pelan kembali kukayuh sepeda itu. Bunyi rantainya kembali bergelutukan, berkreat-kreot memecah sepi jalan. Kepercepat kayuhanku agar segera sampai ke batas ujung desa krajan, yang menjadi homebase ku sehari-hari. Sampai diujung pengkolan desa tepatnya disebuah buk atau bangunan segi empat memanjang yang biasa digunakan untuk pembatas aliran air yang kiri kanannya dipenuhi tanaman besar seperti gayam, serut dan asem. Aku seperti melihat daun kelapa yang jatuh melintang dijalan nampak bergerak-gerak, ritmis. Hatiku mulai ciut, karena nampak betul daun kelapa itu pelan-pelan berdiri yang semakin lama makin besar dan tinggi. Warnanya berubah menjadi putih bersih mirip pocongan dengan tinggi sekitar  4 meteran , karena tingginya hampir mencapai pohon kelapa. Melihat perubahan bentuk itu aku cuma bengong, badanku terasa sangat lemas, keringat dinginku keluar. Namun karena sudah tidak mungkin ada tempat untuk menghindar atau “no way out” kuberanikan diri untuk kembali mengayuh sepeda dengan sempoyongan tentunya, mataku kupejamkan. Rasanya jujur sangat berat, ada hawa yang sangat dingin yang menahanku, sepeda itu jadi terasa berat dan jalan ditempat. Begitu berhasil melewati buk yang ditengahnya ada bayangan putih yang semakin lama semakin besar, hatiku terasa lega, genjotan sepedaku jadi luar biasa kencang apalagi aku tahu bahwa jarak dengan rumah bapak kost tinggal beberapa ratus meter lagi. Begitu sampai rumah sepeda langsung kutabrakkan ke pintu, karena jujur saja mulut dan tanganku sudah tidak mampu lagi kugerakkan apalagi untuk berteriak. Bapak dan ibu kostku langsung keluar begitu mendengar suara gedobrakan dipintu depan, dan semakin kaget ketika melihatku langsung ambruk tidak ingat apa-apa itu.

Setelah diberi minum dan juga didoain oleh bapak kost, aku baru bisa bercerita tentang apa yang baru saja kualami. Dengan arif bapak kostku berkata “…walah mas erry, jadi anak laki-laki  itu harus tatag dan berani, masak diganggu mbah suren saja sudah nglumbruk kaya wayang kehilangan gapit, lain kali kalau lewat buk itu jangan lupa berdoa, dan nyalakan bel tiga kali sebagai tanda permisi lewat”. Sementara teman-temanku satu rombongan pada ketawa kecut. Karena jujur saja, hampir semua teman-temanku pernah mengalami  hal yang sama, diajak bercanda oleh yang “mbaurekso” buk dusun krajan desa Suren.

Demikian ceritaku ketika KKN di desa itu, saat ini desa itu sudah menjadi desa yang sangat maju, karena listrik sudah lama masuk desa. Bapak dan ibu kostku pun sudah lama meninggal dunia, sementara karang taruna yang dulu kita bersama, sudah banyak yang pindah ke daerah lain. Jadi ketika kami berkunjung ke desa itu untuk reuni, sudah banyak yang tidak mengenal

0 komentar:

Post a Comment