Wednesday, October 17, 2012

Jumat malam disekolahku..


Masa SMA adalah masa yang mengasyikkan memang betul adanya. Begitu juga yang kualami ketika menempuh studi disekolah kejuruan yang ada di jalan Kusumanegara Jogja. Hampir 80 % muridnya laki-laki. Jam pelajarannya mirip-mirip sekolah full day seperti saat ini. Pagi kami mendapat pelajaran teori , umumnya kimia terapan yang membuat otakku yang pas-pasan pengin pecah rasanya, kemudian sorenya dilanjut dengan praktikum laboratorium sampai selesai pukul 21.00. Begitulah ritme hidup yang harus kami jalani tiap hari. Untuk mengendurkan otak, pihak sekolah biasanya meminta kami mengadakan pentas seni dengan tema yang beragam. Mulai dari tema ulang tahun sampai pisah sambut. Pentas seni ini rutin diadakan sebulan sekali. Panitianya giliran tiap kelas dan tiap angkatan.

Satu malam, kalau tidak salah pas Jumat Malam, aku dan empat orang seksi kesenian kembali harus standby, karena hari Sabtunya acara pensi akan diselenggarakan. Setelah dirasa cukup, aku dan ganif sahabatku langsung merubah panggung yang biasa itu menjadi luar biasa. Setelah puas bernarcis ria mengagumi karya panggung yang menurutku sudah sangat luar biasa waktu itu, kami langsung menata meja untuk merebahkan badan. Jam sudah menunjukkan pukul 01.30. Ganif langsung tertidur pulas, dengkurnya terdengar cukup keras, sementara wowok dan sunari  juga sudah tenggelam dalam mimpi yang indah. Aku sendiri, entah kenapa belum bisa tidur. Beberapa metode pernafasan yang biasanya manjur membimbingku ke alam mimpi, malam itu tidak banyak gunanya. Karena belum bisa tidur-tidur, dan takut mengganggu teman-teman yang lain, kuputuskan untuk keluar dari kelas dan berencana mencari minum diwarungnya bu darmi.

Sampai diluar, aku melihat suasana kampus yang sunyi senyap. Lorong-lorong kelas jadi terasa amat panjang. Sempat terbersit rasa gamang, karena aku harus melalui tiga perempat luas sekolahan untuk bisa sampai ke warungnya bu darmi.  Dari arah laboratorium ATK (azaz teknik kimia) terdengar suara-suara yang cukup ramai, agak berisik lagi. Hatiku merasa agak sedikit lega “wah pak jamsidi mesti lagi lembur nih,  lumayan bisa minta sedikit anggur jambu mete” pikirku sambil beranjak mendatanginya. Namun aneh, begitu kakiku menginjak pintu kelas II yang bersebelahan dengan laboratorium itu, suara-suara itu hilang, bahkan semua lampunya mati. aku kemudian mencoba mendekati laboratorium itu, tapi memang tidak ada aktivitas apapun. Dengan masgul kemudian aku melangkah pergi, belum sampai 50 meter aku melangkah kembali lagi terdengar suara-suara itu bahkan lebih keras dari yang aku dengar pertama kali tadi. Tapi begitu aku balik dan menuju laboratorium itu semuanya kembali sunyi. Begitu terus, “trembelane gethuk ki “omelku dalam bahasa Jawa, “pasti ada yang ingin mencoba keberanianku nih. Karena merasa ditantang, aku kemudian pelan-pelan mendatangi laboratorium itu lagi. Langkahku kubikin tanpa suara, dengan ilmu pernafasan segitiga aku mencoba meredam bunyi nafas itu, tak lupa kubarengi dengan membaca amalan Qulhu Geni warisan guru beladiriku. Sampai dibutulan kelas II yang bersebelahan dengan laboratorium aku mencoba mengintip, “duh gusti Allah…” aku hanya bisa berucap lirih, dari sela-sela pintu itu aku melihat pemandangan yang membuat dadaku bergetar keras, nampak mulai dari gelas ukur, tabung distilasi, dan semua peralatan laboratorium semua pada “jejogedan” alias menari kaya ada yang memegangi dan menggerakkan, gelas ukurnya saling beradu, begitu juga dengan alu dan alat tumbuknya, belum lagi panci besar dan juga tempat sendok-sendok yang tiap hari kami gunakan untuk praktek. Semua bertumbukan membuat suara yang sangat ribut. Berkali-kali aku mengusap-usap mataku, takut kalau aku sedang bermimpi. Dengkul kakiku terasa lemas, sementara nafasku memburu. Kuambil nafas, dan kucoba menenangkan diri, setelah rasa kaget itu ilang, aku mencoba meraih handle pintu, dan blak pintu itu terbuka. Seketika juga tarian alat-alat laboratorium itu berhenti, semua luruh dan kembali ketempatnya masing-masing. Tanpa menimbulkan suara apapun. “kurang ajar, berarti aku dikerjain yang tidak kelihatan nih, pantesan dari tadi tidak bisa tidur” gerutuku sambil meninggalkan laboratorium atk lewat pintu butulan yang ada.

Sampai diluar pandanganku tertarik pada bayangan hitam yang bergerak-gerak ritmis di bak penampungan air. Kali ini aku tidak mau dipermainkan untuk yang kedua kali, dengan berani kudatangi bayangan itu dan ternyata betul, yang bergerak-gerak itu bayangan kaki sebatas lutut, cuma ukurannya raksasa karena tinggi tower itu kurang lebih empat meter. Belum sempat aku bereaksi, terdengar suara bariton yang cukup keras “ kok kluyuran sampe kene le, opo ono lemburan to ( kok sampai disini, apa ada tugas lembur)” aku tanggap dengan santun aku menjawab, “nggih kyaine, nyuwun palilah kulo kaliyan rencang-rencang lembur kagem acara mbenjang ( betul, ki minta maaf dan mohon ijin kami memang lembur untuk acara besok)” bayangan itu kemudian dehem tiga kali dan kemudian hilang begitu saja. Kantukku hilang sama sekali. Ternyata aku dari tadi diganggu kyai semar, penunggu sekolahku. Dengan mengucap “assalamualaikum” aku kemudian pamit dan meninggalkan lokasi itu.

Belum jauh kakiku melangkah, aku sudah mendengar teriakan keras sekali dari ruang kelasku. Kalau tidak salah suaranya ganif, aku langsung berlari menuju kelas. Sampai disana,  ruang kelas sudah menyala terang, nampak sunari dan wowok dengan wajah yang pucat memegangi tubuh ganif, yang nampak kejang  dengan mulut yang berbusa. “errr…tolong, ganif kemasukan” teriak mereka hampir berbarengan. Aku segera mengambil tasbih setinggi yang selalu melingkar dileherku, kemudian  kulingkarkan dipergelangan tanganku sebagai gelang, dengan keras kupencet ujung jempol ganif, “hmmmmm aduhhhhh panas…panassssssss” teriaknya purau suaranya kecil melengking mirip suara nenek-nenek. “siapa kamu, dan apa maksudmu mengganggu kawanku” teriakku sambil terus menggencet ujung jarinya “aku sadikemmm koncomu kurang ajar, aku lagi momong putuku, diuyuhi ( aku sadikem, temanmu ini kurang ajar, karena berani mengencingi sekarang aku menuntut balas) “aku langsung komat-kamit membaca ayat Qursi dan juga qulhu geni. “wes aku sing njalukne sepuro, koncoku ndak ngerti nek kowe onok kono (sudah, aku sekarang mewakili dia untuk memohon maaf padamu, karena yang dilakukan temanku tadi bukan kesengajaan). Cukup lama aku bernegosiasi dengan sadikem tadi, karena sampai lama tidak mau pergi dari jasad Ganif, maka aku terpaksa menggunakan tasbeh setinggi untuk untuk membuatnya kesakitan, teman-temanku ikut berusaha dengan membaca ayat qursi sebanyak-banyaknya. Akhirnya “aduhhhhh panas…panasssssss aku ora kuwat” dan dengan erangan yang kuat akhirnya sadikem pergi keluar dari badan wadag ganif sahabatku. Ganif kemudian sadar, dengan lemas dia bercerita bahwa tadi dia bermimpi didatangi nenek-nenek tua yang marah dan kemudian menyeretnya pergi, setelah itu dia merasa tidak ingat apa-apa. Sunari dan wowok hanya berpandang-pandangan, kemudian “errr, ayo kita pulang saja dari pada nanti ada apa-apa” katanya. Aku mengiyakan, dan malam itu kira-kira pukul 3.30 pagi kami meninggalkan sekolah dan kembali kerumah masing-masing. Ganif yang masih lemas memintaku untuk mengantarkannya sampai rumah.

Paginya cerita itu menyebar kemana-mana, entah siapa yang membroadcast, sampai akhirnya kepala sekolah memanggilku dan menanyai apa yang sebetulnya terjadi malam kemarin. Dengan bijak, beliau membatalkan acara pensi itu dan memindahkannya di hari Minggu pagi.

Demikian ceritaku diteror penghuni sekolah lamaku.

0 komentar:

Post a Comment